Laporan Wartawan Tribunnews.com Abdul Qodir
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Police Watch (IPW) menyatakan keluarnya Norman Kamaru dari kepolisian tidak sepenuhnya salah Norman. Pemberhentian secara tidak hormat Polda Gorontalo kepada Norman, terjadi karena kedua pihak mengedepankan ego masing-masing.
Demikian disampaikan Ketua Presidium IPW, Neta S Pane, Rabu (7/12/2011).
Menurut Neta, kasus ini terjadi karena kedua pihak mengedepankan arogansi masing-masing, di mana Norman mengaku ingin keluar hanya karena capek menjadi polisi.Sementara, pihak Polda Gorontalo dan Polri sendiri tidak memberikan posisi yang tepat bagi Norman untuk mengembangkan bakatnya sehingga ia merasa terkekang.
"Apa yang dikatakan Norman bahwa dia letih menjadi polisi, tak lebih dari sikap putus asa menghadapi arogansi dan ketidaktegasan elit-elit di institusinya. Polri sesungguhnya perlu ikon-ikon yang mampu mensosialisasikan sikap-sikap simpati polisi ke masyarakat, seperti yang dilakukan Norman selama ini. Tapi sayangnya, Norman tidak ditempatkan pada posisi yang tepat, sehingga terjadi benturan-benturan, yang akhirnya masing-masing pihak mengedepankan ego masing-masing. Akhirnya, terjadi keputusan sidang etik," kata Neta.
Meski begitu, Neta menyatakan pemberhentian Norman itu adalah keputusan yang terbaik bagi kedua pihak.
Ia menambahkan, ke depan Mabes Polri perlu tanggap menyikapi kasus-kasus seperti ini. "Kelihatannya sepele, tapi ini sangat strategis bagi pembangunan citra Polri. Polri sangat perlu pada figur-figur polisi yang mampu menarik simpati publik," ujarnya.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Police Watch (IPW) menyatakan keluarnya Norman Kamaru dari kepolisian tidak sepenuhnya salah Norman. Pemberhentian secara tidak hormat Polda Gorontalo kepada Norman, terjadi karena kedua pihak mengedepankan ego masing-masing.
Demikian disampaikan Ketua Presidium IPW, Neta S Pane, Rabu (7/12/2011).
Menurut Neta, kasus ini terjadi karena kedua pihak mengedepankan arogansi masing-masing, di mana Norman mengaku ingin keluar hanya karena capek menjadi polisi.Sementara, pihak Polda Gorontalo dan Polri sendiri tidak memberikan posisi yang tepat bagi Norman untuk mengembangkan bakatnya sehingga ia merasa terkekang.
"Apa yang dikatakan Norman bahwa dia letih menjadi polisi, tak lebih dari sikap putus asa menghadapi arogansi dan ketidaktegasan elit-elit di institusinya. Polri sesungguhnya perlu ikon-ikon yang mampu mensosialisasikan sikap-sikap simpati polisi ke masyarakat, seperti yang dilakukan Norman selama ini. Tapi sayangnya, Norman tidak ditempatkan pada posisi yang tepat, sehingga terjadi benturan-benturan, yang akhirnya masing-masing pihak mengedepankan ego masing-masing. Akhirnya, terjadi keputusan sidang etik," kata Neta.
Meski begitu, Neta menyatakan pemberhentian Norman itu adalah keputusan yang terbaik bagi kedua pihak.
Ia menambahkan, ke depan Mabes Polri perlu tanggap menyikapi kasus-kasus seperti ini. "Kelihatannya sepele, tapi ini sangat strategis bagi pembangunan citra Polri. Polri sangat perlu pada figur-figur polisi yang mampu menarik simpati publik," ujarnya.
Penulis: Abdul Qodir | Editor: Ade Mayasanto
Akses Tribunnews.com lewat perangkat mobile anda melalui alamat m.tribunnews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar